Buku Papua ‘surga’ yang terlantar, dokumentasi pelanggaran HAM di Papua 2015-2017
.
![]() |
Penulis buku Rudolf Kambayong saat memaparkan isi buku – Jubi/dok panitia |
Jayapura, Jubi – Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua meluncurkan buku terbaru berjudul Papua ‘surga’ yang terlantar, Rabu (14/11/2018). Buku yang memuat laporan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari lima sekretariat keadilan dan perdamaian (SKP) se tanah Papua periode 2015-2017.
Penulis buku, Rudolf Kambayong menjelaskan Papua, selain tanah yang kaya, ‘surga’ akan sumber daya alamnya, Papua juga menjadi ‘surga’ tumbuhnya segala kekerasan dan pelanggaran HAM (Sipol dan Ekosob serta Lingkungan Hidup).
“Semuanya ini masih belum diselesaikan dengan secara baik, benar dan adil oleh Negara Indonesia. Negara dengan segala kepentingannya, melalui elit birokrasi maupun aparat keamanan, terus mengganggu Tanah dan Manusia Papua,” katanya di Aula STFT Fajar Timur Abepura, Rabu (14/11/2018).
Kasus penembakan di Intan Jaya dan Tolikara pada waktu bersamaan (17 Juli 2015), penembakan di Koperapoka Mimika (28 Agustus 2015), penembakan di Kabupaten Jayapura (11 Januari 2017), penyiksaan saat sweeping (razia) di Kabupaten Dogiyai (10 Januari 2017), penembakan Michael Merani di Kepulauan Yapen (27 Maret 2017), penembakan di Kampung Oneibo (1 Agustus 2017) dan masih banyak lagi kekerasan fisik dan penembakan lainnya yang dialami oleh Orang Asli Papua.
Kekerasan yang dialami Orang Asli Papua juga ketika mereka berjuang untuk mempertahankan hak ulayatnya. Sebut saja kasus dialami oleh Sekretaris Dewan Adat Suku Yerisiam Gua Nabire pada 29 Juni 2017, Yan Ever di Kabupaten Sorong pada 23 Oktober 2017.
“Masyarakat pemilik hak ulayat harus berurusan dengan aparat keamanan yang mengamankan bisnis elit birokrasi dengan pihak perusahaan di Tanah Papua. Masyarakat pemilik hak ulayat sepertinya sudah ‘ditakdirkan’ untuk menerima dan siap menerima kesakitannya” kata Kambayong yang juga Direktur SKP Keuskupan Timika.
Persoalan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan hampir tidak berjalan di pedalaman Papua. Masyarakat harus berjuang untuk melawan segala ketidaktahuannya dengan segala jenis penyakit yang menyerang mereka. Kasus meninggalnya manusia Papua usia Balita di Kabupaten Lany Jaya, Dogiyai, Yahukimo (Saminage dan Korowai) menjadi potret buruk pemenuhan hak dasar kemanusian bagi orang asli Papua.
Kambayong menjelaskan, dengan segala persoalan tersebut, berbagai elemen berusaha untuk perlahan menyelesaikannya. Negara juga bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikannya. Negara mulai menguatkan pembangunan infrastruktur dengan program andalan Presiden Joko Widodo, Nawacita. Sejalan dengan itu, perhatian dunia internasional terhadap segala persoalan kemanusian atau HAM di Tanah Papua terus meningkat. Dunia internasional terus memberikan tekanan kepada Negara Indonesia.
Terlepas dari segala persoalan dan perhatian Negara, Gereja Katolik di Tanah Papua melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaiannya berusaha menyuarakan penderitaan dan kesakitan orang asli Papua tersebut. Kesekretariatan ini tersebar di lima keuskupan di Tanah Papua yakni SKP Keuskupan Agung Merauke, SKPKC Fransiskan Papua, SKP Keuskupan Timika, SKP Keuskupan Agats, SKP Keuskupan Manokwari Sorong dan SKPC OSA. Mereka berusaha menyuarakan dan menyelesaikan persoalan tersebut dengan gaya dan situasi yang dihadapi oleh orang yang dilayani.
Buku “Papua: Surga Yang Terlantar, Laporan HAM SKP se-Papua tahun 2015-2017” yang diterbitkan ini merupakan salah satu upaya dari SKP yang berada di Tanah Papua. SKP di Tanah Papua berusaha mendokumentasikan segala persoalan yang terjadi pada tiga tahun (2015-2017). Dokumentasi ini bukan untuk menangisi segala kesakitan tersebut tetapi mengingatkan kita untuk terus berjuang dan berusaha demi tegaknya harkat dan martabat orang asli Papua. Buku ini membantu meneruskan suara mereka (orang asli Papua) yang semakin hari dibungkam.
“Buku ini juga mengingatkan kepada Negara Indonesia bahwa pelanggaran HAM itu belum diselesaikan dan masih terus terjadi hingga saat ini. Kiranya Buku ini menjadi salah satu refrensi bagi kita untuk mengetahui persoalan HAM di Tanah Papua,” katanya.
Ketua aliansi Jurnalis Independen Papua, Lucky ireeuw mengatakan buku itu berisi tragedi kemanusiaan yang terjadi sepanjang tiga tahun terakhir.
“Antara realitas masyarakat dan peran gereja. Gereja berperan membantu menyelesaikan persoalan masyarakat. SKP turut terlibat . Ini adalah potret peran gereja,” katanya.
Ireeuw menyampaikan apresiasinya kepada para penulis buku, karena ketekunan mendokumentasikan peristiwa demi peristiwa di Tanah Papua, sehingga pada akhirnya buku tersebut akan menjadi sumber data yang valid bagi jurnalis, atau penulis buku lainnya.
“Media juga memiliki peran penting dalam penegakan HAM. Namun hingga saat ini media dan jurnalis di Papua measih mengalami kekerasan, intimidasi, pelarangan jurnalis asing, pemblokiran website. Bahkan saat jurnalis di seluruh dunia merayakan hari kebebasan Pers di Jakarta, jurnalis Papua mengalami pemukulan. Hal ini bisa kita dorong bersama ,” katanya.
Hadir sebagai pembanding buku, dosen STFT Fajar Timur Abdon Bisei menjelaskan, penderitaan rakyat Papua yang terhimpun dalam buku ini, adalah penderitaan Yesus masa kini. Ajaran sosial gereja, adalah societa perfecta yang mengurus hal rohani, dan religius.
“Lalu mengapa gereja terlibat? Keterlibatan gereja sebagai perwujudan iman. Ini sumbangan gereja untuk semua umat manusia. Gereja memang konsen pada bidang-bidang rohani, tapi juga pada bidang lain. Namun di gereja Katolik, tugas ini diberikan kepada awam,” jelasnya.
Sebab itu, hakikat pertanggungjawaban gereja dalam iman, gereja harus terlibat dalam tanggung jawab sosial. Gereja harus peka membaca tanda zaman. “Dan martabat manusia harus dibela,” katanya.
Ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda Rakyat (Gempar) Papua, Yason Ngelia mengucapkan terima kasih kepada SKPKC Fransiskan Papua yang sudah mengadvokasi rakyat Papua dengan mendokumentasikan semua peristiwa, sehingga membantu aktivis dan jurnalis untuk ketersediaan data. “Buku ini mereview untuk kita. Ketika kita memerlukan data, ada buku ini,” katanya.
Selain itu Ngelia menjelaskan buku tersebut juga sangat bermanfaat, karena memberikan pengetahuan tentang HAM kepada kaum awam.
“Banyak OAP yang belum tahu, bahwa sebuah kasus bisa dikatakan sebuah pelanggaran HAM, jika aktornya adalah Negara. Dan buku ini memberi pengetahuan tentang hal-hal seperti itu,” katanya.
Walaupun berterma kasih, Yason Ngelia juga menyayangkan lambatnya gereja terlibat dalam persoalan HAM, karena SKP di seluruh keuskupan baru berdiri pada tahun 1998.
“SKP mendorong Papua Tanah Damai. Namun buku ini menjelaskan sebaliknya. Reformasi tidak akan selesai jika militer tidak dibenahi,” katanya. (*)
Post a Comment